MAKALAH
PENGANTAR EKONOMI
EFEKTIVITAS
KEBIJAKAN IMPOR BERAS DI INDONESIA
Dosen
Pengampu: Syahirul Alim, SE.,MM
Disusun Oleh :
Andre Septian
NIM: 12530016
JURUSAN D-III PERBANKAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Allah SWT, atas Rahmat dan
Hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
terstruktur yang diberikan Dosen pengajar mata kuliah Pengantar Ekonomi,
Jurusan Perbankan Syari’ah Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim – Malang.
Makalah ini masih belum sempurna
disebabkan karena terbatasnya kemampuan pengetahuan baik teori maupun praktek.
Dengan demikian, Saya sangat mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan panulisan makalah
ini.
Kiranya
yang Maha Kuasa tetap menyertai kita sekalian, dengan harapan pula agar karya
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Malang, 2 Desember 2012
Penulis
ANDRE SEPTIAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB I. PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Perumusan
Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
Latar Belakang
Beras merupakan
komoditi yang sangat utama karena dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk
Indonesia. Selain sebagai sumber karbohidrat, dua pertiga kebutuhan kalori
diperoleh dari beras. Akibatnya, wajar jika beras merupakan komponen yang
terpenting dari “indeks harga bahan pangan dan biaya hidup”. Disisi lain, beras
juga merupakan sumber lapangan kerja yang terbesar di bidang pertanian,
merupakan massive industry yang melibatkan banyak orang (Hatta Sunanta,
2006).
Produksi padi
Indonesia mengambil pangsa sekitar 9% dari total produksi dunia. Indonesia
negara penghasil beras ke tiga terbesar di dunia, setelah China (30%) dan India
(21%). Namun, kedua negara terakhir adalah net eksportir beras, berbeda dengan
Indonesia yang mejadi negara net importir beras sejak akhir 1980-an. Kemudian pada tahun 1984 pemerintah Indonesia (Orde Baru) menyatakan diri
bahwa Indonesia mencapai tingkatan swasembada beras, yang telah dirintis
melalui berbagai program (swasembada, Inmas, Bimas, Insus, Supra Insus).
Menurut data Food
Agriculture Organization of the UN (FAO), menunjukkan perkiraan jumlah
penduduk dunia pada tahun 2030 mencapai 8 miliar. Pada tahun 2015, sebanyak 580
juta penduduk dunia akan mengalami kekurangan pangan. Perhitungan ini
menunjukkan bahwa negara-negara berkembang di dunia akan semakin tergantung
pada impor pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya yang sangat besar, dan
diperkirakan kebutuhan tersebut akan meningkat dari 170 juta ton pada tahun
1995 menjadi 270 ton pada tahun 2030 (Bayu Krisnamurthi, 2006).
Negara Indonesia
sebagai negara agraris, maka konsekuensi logisnya kebutuhan akan pangan
terutama beras dapat terpenuhi. Namun yang terjadi saat ini justru ironi untuk
memenuhi kebutuhan pangan (beras, jagung, kedele, buah-buahan) masih harus
impor. Jumlah penduduk Indonesia mengalami peningkatan terus sehingga kebutuhan
pangan pun bertambah. Disisi lain, lahan pertanian semakin terbatas akibat alih
fungsi lahan maka dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan dari produksi terbatas
sehingga salah satu cara yang ditempuh pemerintah untuk menjaga ketahanan
pangan adalah dengan impor.
Melihat fenomena di atas,
tulisan ini mencoba memaparkan sejauhmana keefektifan kebijakan impor beras
yang dilakukan pemerintah?
RumusanMasalah
a.
Seberapa besar kemampuan indonesia memproduksi dan
konsumsi beras ?
b.
Apakah indonesia mempunyai kualitas ketahanan pangan
ataukah malah kerawanan pangan yang ada ?
c.
Seberapa besarkah ketergantungn indonesia terhadap impor
baras ?
d.
Bagaimanakah kebijakan impor beras di indonesia ?
BAB 2
Pembahasan
PRODUKSI DAN
KONSUMSI BERAS
Indonesia terus
berusaha mendorong peningkatan produksi beras dalam negeri dan mengelola stok
beras nasional untuk tujuan emerjensi dan stabilisasi harga. Produksi
beras/padi dalam negeri amat penting untuk menghindari tingginya risiko
ketidakstabilan harga dan suplai beras dari pasar dunia, disamping terkait erat
dengan usaha pengentasan kemiskinan dan pembangunan perdesaan.
Pulau Jawa
menjadi penghasil 56% komoditas padi, untuk seluruh penduduk Indonesia.
Ketergantungan pada pulau Jawa dan dominasi wilayah padat penduduk dalam
produksi pangan dapat menimbulkan masalah tersendiri (Bayu Krisnamurthi, 2006).
Data BPS
menunjukkan, tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia dapat dikatakan tidak
berubah banyak dari tahun ke tahun. Data tahun 1996-2001 memperlihatkan
rata-rata masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras 131,5 kg/tahun dengan
perubahan rata-rata hanya sebesar –0.14%/tahun. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa beras tetap menjadi kebutuhan pokok yang bersifat hampir
inelastis sempurna. Namun, bila dilihat secara pengeluaran rumah tangga, dengan
peningkatan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif selalu meningkat kecuali pada
saat krisis moneter 1997-1998, data Susenas menunjukkan hal yang berbeda.
Karena jumlah penduduk Indonesia terus meningkat setiap tahunnya maka konsumsi
beras masyarakat secara agregat tentunya akan mengalami peningkatan pula,
sementara produksi dari tahun ke tahun relatif tidak berubah dan lahan semakin
terbatas akan mengganggu ketahanan pangan.
KETAHANAN PANGAN
versus KERAWANAN PANGAN
Ketahanan pangan,
secara luas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kecukupan pangan
masyarakat dari waktu ke waktu. Kecukupan pangan dalam hal ini mencakup segi
kuantitas dan kualitas, baik dari produksi sendiri maupun membeli di pasar.
Terwujudnya sistem ketahanan pangan tersebut akan tercermin antara lain dari
ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta
terwujudnya diversifikasi pangan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.
Pencapaian ketersediaan pangan harus memperhatikan aspek produksi, pengaturan
dan pengelolaan stok atau cadangan pangan, serta penyediaan dan pengadaan
pangan yang cukup. Ketahanan pangan harus menjaga mutu dan gizi yang baik untuk
dikonsumsi oleh masyarakat. Mutu dan gizi yang baik dihasilkan dari pangan yang
beragam, bergizi, bermutu dan halal untuk dikonsumsi. Mutu pangan yang
dikonsumsi akan mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia Indonesia.
Kenyataan yang
pernah terjadi saat krisis yang lalu bahwa adanya rawan pangan didukung oleh
kondisi alam yang tidak menguntungkan produksi bahan pangan dan diperparah lagi
dengan adanya kepanikan konsumen akibat isu kekurangan pangan sehingga memicu
kenaikan harga bahan pokok. Keadaan tersebut menunjukkan pula bahwa
ketergantungan bahan pangan hanya pada satu jenis bahan pangan saja terutama
beras, ternyata mengarah pada kelemahan dari sistem ketahan pangan (Darwanto,
2000).
Untuk memperkuat
ketahanan pangan maka perlu digalakkan kembali lumbung desa. Lumbung desa
berfungsi sebagi tempat penyimpanan pada saat produksi berlebihan (panen raya)
dan sebagai penyalur saat paceklik. Keberadaan lumbung desa akan melepaskan
ketergantungan petani terhadap pemerintah (Dolog/Bulog). Selain itu peningkatan
sarana transportasi seperti jalan penghubung pedesaan diperlukan untuk
memudahkan penyaluran serta pengembangan pedesaan. Keduanya sangat penting
peranannya dalam mengatasi kerawanan pangan sehingga daerah-daerah yang masih
kekurangan dapat terdistribusi dari daerah yang mengalami surplus pangan.
Harga yang rendah
merupakan disinsentif bagi petani untuk meningkatkan produksi, sehingga
ketersediaan pangan akan menjadi terganggu. Dalam jangka panjang kebijakan
pengendalian harga pangan hanya akan membuat negeri ini tergantung pada impor
pangan. Dilema yang dihadapi pemerintah saat ini adalah; disatu sisi pemerintah
ingin mengendalikan inflasi menjadi single digit, salah satunya dengan
menekan harga kebutuhan pokok, terutama pangan. Dilain pihak, pemerintah ingin
merevitalisasi pertanian dan meningkatkan taraf hidup petani. Mahalnya harga
beras yang terjadi akhir-akhir ini telah melemahkan daya beli masyarakat,
bahkan pada kelompok masyarakat tertentu tidak mampu membeli beras, sehingga
mengkonsumsi nasi aking atau umbi-umbian. Berikut disajikan perkembangan harga
beras medium di Indonesia (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan
Harga Beras Medium di Indonesia Tahun 1995–2003 (Rp/kg)
Tahun
|
Triwulan I
|
Triwulan II
|
Triwulan III
|
Triwulan IV
|
1995
|
740,09
|
732,58
|
782,62
|
850,23
|
1996
|
858,12
|
852,11
|
897,00
|
912,78
|
1997
|
983,78
|
1023,90
|
1.065,81
|
1.181,73
|
1998
|
1401,20
|
1.714,10
|
2.580,30
|
2.700,51
|
1999
|
2776,27
|
2.771,61
|
2.634,81
|
2.479,62
|
2000
|
2451,57
|
2.468,57
|
2.426,88
|
2.349,85
|
2001
|
2441,63
|
2.478,55
|
2.549,70
|
2.679,83
|
2002
|
2971,39
|
2.835,19
|
2.701,49
|
2.753,81
|
2003
|
2856,51
|
2.770,00
|
2.717,00
|
2.767,00
|
Sumber: Badan Urusan
Logistik (Bulog), 2003
Perkembangan
harga beras sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 1, kenaikan harga beras
yang terjadi sampai tahun 2003 tidak begitu tajam. Berbeda halnya dengan
kondisi yang terjadi akhir-akhir harga beras di pasaran mencapai Rp 4600/kg
(Januari 2006) terjadi kenaikan harga yang cukup drastis. Mahalnya harga beras
tersebut disebabkan oleh beberapa hal;
1. Banyaknya distributor
baru dari luar daerah sehingga akan memperpanjang rantai pemasaran sehingga
margin pemasaran semakin besar
2. Adanya permainan pasar
yang dilakukan para tengkulak dan pengusaha bermodal besar, seperti pedagang
borong beras murah operasi pasar, agar pemerintah memberlakukan impor beras
untuk menutup krisis di pasaran. Ini berarti petani tidak punya ketahanan
pangan karena tidak punya stok
3. Proses pengeringan
yang berlangsung lebih lama di musim hujan sehingga pasokan beras ke
distributor terhambat
Beberapa langkah
strategis yang dapat ditempuh untuk mengatasi distribusi yang tidak lancar
seperti ada penimbunan beras oleh pihak tertentu antara lain: (1). Jangka
pendek, yakni dengan mempercepat distribusi raskin agar cepat diterima kepada
yang berhak termasuk diterima oleh para penerima subsidi langsung tunai (SLT);
(2). Jangka panjang, data surplus beras, harus melalui kajian mendalam dengan
memperhitungkan faktor puso yang disebabkan faktor alam seperti banjir,
serangan hama penyakit sehingga menyebabkan kegagalan panen. Misalnya pada MT
Oktober–Maret, sebenarnya tingkat kegagalan panennya tinggi yang diakibatkan
faktor alam, sehingga indikasi panen pada bulan Januari-Februari masih banyak
defisitnya antara kebutuhan dengan hasil panen yang dicapai. Namun biasanya
defisit tersebut dapat ditutup dengan surplus tahun sebelumnya. (3). Melakukan operasi
justisi dengan menelusuri tempat-tempat yang diduga sebagai gudang
penimbunan. Operasi ini dimaksudkan sebagai shock teraphy agar pihak
yang menimbun mengeluarkan stoknya. Pihak yang melakukan penimbunan untuk
memperkaya diri sendiri, perlu diberi punishment sesuai dengan
peraturan, mengingat beras merupakan komoditas primer yang menyangkut hajat
hidup orang banyak. (4) Menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu
mekanisme pasar, melalui layanan publik, memberikan subsidi dan regulasi.
Secara teoritis
memang benar bahwa jika harga terlalu tinggi atau berada diatas harga
keseimbangan maka pemerintah harus intervensi dalam rangka melindungi konsumen
dengan apa yang dinamakan ceiling price, maka operasi pasar sangat
diperlukan sebagai upaya untuk menstabilkan harga beras. Operasi pasar yang
dilakukan oleh Bulog melalui stock beras yang menggantungkan/didatangkan dari
luar negeri (impor) yang cenderung berkelanjutan dan dalam jumlah yang cenderung
meningkat justru akan membahayakan ketahanan pangan. Selama persediaan stock
beras masih mencukupi, operasi pasar tidak diperlukan untuk sementara waktu.
KETERGANTUNGAN
IMPOR BERAS
Pemenuhan
kebutuhan pangan sampai sekarang dipenuhi dengan impor dari luar negeri
sehingga ketergantungan pada negara pengimpor semakin besar. Ketergantungan
pangan (beras) melalui impor akan merupakan malapetaka bagi bangsa dan negara,
disamping menguras devisa, memungkinkan dan memudahkan komoditas pangan
dijadikan komoditas dan senjata politik untuk pengaturan hingga terjadinya
dominasi dunia (Bayu Krisnamurthi, 2006).
Tabel 2. Produksi,
Impor/Ekspor Beras (1000 Ton), dan Tingkat Swasembada dan Ketergantungan impor:
Rataan 4 periode 1995-2005
Rataan/ Tahun
|
Produksi 2)
|
Impor 1)
|
Ekspor 1)
|
Tingkat Swasembada (%)
|
Tingkat Ketergantungan
Impor (%)
|
1995-1997
|
32.252
|
1.920,1
|
3,5
|
94,6
|
5,4
|
1998-1999
|
31.633
|
3.844,9
|
4,2
|
89,3
|
10,7
|
2000-2003
|
32.356
|
1.310,0
|
2,9
|
96,1
|
3,9
|
2004-2005
|
34.174
|
205,5
|
21,6
|
99,5
|
0,5
|
Keterangan:
Ekspor/impor
dihitung dari data Neraca Bahan Makanan BPS (berbagai tahun) dan makalah BPS di
Rakornas Inpres di Yogya tgl 1-2 Mei 2006. 2) Statistik Indonesia BPS
Pada periode
1998-1999, terjadi penurunan produksi padi (El Nino) yang bersamaan dengan
krisis ekonomi, sehingga impor beras tertinggi yaitu mencapai 3,8 juta
ton/tahun, dengan tingkat ketergantungan impor hampir 11%. Namun, impor beras
menurun drastis pada periode 2004-2005, karena Indonesia melarang impor beras,
kecuali beberapa jenis beras untuk penggunaan tertentu Pada periode ini, impor
hanya 206 ribu ton/tahun, dengan tingkat swasembada mencapai 99,5%. Dalam
periode ini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia juga mengekspor
beras sebesar 22 ribu ton/tahun.
KEBIJAKAN IMPOR
BERAS
Dalam kebijakan
impor beras ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu : (1) impor beras
jangan sampai merugikan petani dalam negeri, (2) ditujukan untuk membantu
konsumen mendapat harga yang terjangkau, dan (3) menjamin stok pangan nasional.
Bagi Indonesia, dengan
semakin membanjirnya beras impor akan mengakibatkan petani semakin tidak
memiliki daya saing baik dari sisi harga maupun mutu sehingga berakibat pada
melemahnya daya beli masyarakat terutama dari pihak petani Dengan melemahnya
daya beli pada akhirnya kesejahteraan petanipun semakin tidak membaik.
Alasan yang
dikemukakan pemerintah pusat untuk kembali melakukan impor beras ini adalah
sebagai upaya antisipasi menahan laju peningkatan harga beras, yang
dikhawatirkan dapat menimbulkan tekanan biaya input (cost push) terhadap
tingkat inflasi nasional yang sedang ditargetkan berada pada tingkat moderat,
dan tidak terlalu menghambat tujuan kebijakan fiskal dan moneter saat ini.
Upaya menggenjot
produksi beras dari domestik sangat tidak dimungkinkan karena membutuhkan waktu
yang tidak pendek dan dikhawatirkan akan merugikan petani lebih buruk lagi.
Alasannya, produksi beras di daerah-daerah sentra beras Indonesia sekarang ini
sebenarnya lebih bersifat technology based dan relatif mengarah pada
sektor produksi padat modal dan/atau lahan. Hal itu ditunjukkan lewat pengadaan
bibit unggul dan pupuk dibandingkan sebagai sektor perekonomian bersifat padat
karya.
Dengan demikian,
petani yang juga merupakan konsumen beras akan tetap harus menerima risiko
harga beras yang lebih mahal karena tingginya biaya input produksi. Tambunan
(2006) memperkuat pernyataan ini dengan menunjukkan data terakhir BPS, pada era
pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005, angka nilai tukar petani (NTP) merosot
2,39%. Pada Desember 2005, NTP tercatat 97,94. Artinya, indeks harga yang harus
dikeluarkan petani lebih besar daripada indeks harga yang diterima. Dalam kata
lain, angka ini menandakan bahwa petani merugi atau pendapatannya turun.
Untuk menghambat
membanjirnya beras impor, pada tahun 2000 pemerintah kemudian mengenakan tariff
impor menjadi 30%, namun upaya pemerintah tersebut ternyata tidak cukup
efektif. Hal tersebut ditambah dengan lemahnya pengawasan serta bentuk negara
kepulauan, menyebabkan sulitnya mengawasi beras impor yang masuk secara illegal
(Antik, 2002). Peranan pemerintah dalam hal ini Badan Urusan Logistik (Bulog)
sebagai distributor tunggal beras nasional semakin diperkecil dan penjualan
beras saat ini lebih mengikuti mekanisme pasar. Mengingat beras merupakan
pangan pokok sebagian besar masyarakat, sudah semestinya pemerintah lebih
meningkatkan intervensinya dalam produksi, distribusi dan harga. Dalam hal
harga, pemerintah harus berani membeli beras petani dengan harga yang lebih
tinggi dari harga pasar dan kemudian menjualnya dengan harga di bawah harga
pasar. Hal ini untuk memberikan insentif pada petani beras agar bergairah
berproduksi dan sekaligus dengan harga jual lebih rendah dari harga pasar akan
melindungi konsumen. Langkah ini sekaligus akan menyelamatkan petani dari
permainan harga yng selama ini dilakukan oleh para tengkulak. Langkah ini jauh
lebih efektif daripada pemerintah memberi subsidi kepada petani dalam
berproduksi.
Kebijakan impor
beras yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi kelangkaan beras di pasaran,
mendapat respon yang kurang positif. Kebijakan impor beras menjadi komoditi
politis bahkan lebih pelik dibanding BBM. Ketergantungan akan impor perlu
segera dikendalikan salah satunya dengan meningkatkan produksi pangan termasuk
beras agar kemandirian pangan dapat diwujudkan. Langkah ini perlu dilaksanakan,
kalau kita ingin menjadi bangsa yang mandiri, sehingga kebijakan dasar
pemerintah tentang pangan khususnya dan pertanian umumnya harus diperhatikan.
Akan sangat ironis, suatu negara agraris dengan kekayaan sumberdaya alam yang
melimpah, ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara
mandiri bahkan terus bergantung pada impor. Efisien produksi dan tata niaga
perlu dilakukan sebagai salah satu upaya dalam berproduksi dengan tetap menjaga
keterjangkauan harga serta menguntungkan petani
Menurut Iman Sugema
(2006), ada empat hal yang dapat dilakukan pemerintah :
1. Pembangunan
infrastruktur fisik petanian dan pedesaan harus ditingkatkan. Infrastruktur
irigasi, jalan desa, dan kecamatan selama ini mengalami kemerosotan tajam.
Akibatnya disparitas harga ditingkat petani dan konsumen mencapai Rp. 1500
sampai Rp 1700/kg beras. Membaiknya infrastruktur akan mengurangi biaya
produksi.
2. Adopsi bibit unggul
yang baru sehingga produktivitas dapat ditingkatkan. Ada dua masalah disini.
Pertama, dana riset terutama dalam pemuliaan tanaman masih terbatas; kedua,
adopsi di tingkat petani amat lamban. Dalam hal riset pertanian mungkin sebaiknya
kita berkaca pada Thailand yang rajanya memiliki perhatian khusus untuk ini
3. Harus ada reforma
agrarian dengan fokus pemanfaatan lahan tidur dan tidak produktif. Sementara
banyak petani tidak berlahan, adalah ironis jika pemerintah membiarkan
peningkatan proporsi lahan yang menjadi tidak produktif.
4. Perlu dilakukan
rekayasa ulang kelembagaan pangan. Dengan desentralisasi, banyak penyuluh
pertanian beralih profesi, sebaliknya jabatan di dinas pertanian banyak diisi
orang-orang dari luar pertanian. Keadaan ini mempersulit pencapaian target
produksi kemandirian pangan dapat diwujudkan.
Dalam kemandirian pangan,
ada kebijakan jangka menengah dan panjang yang secara sistematis harus
dilakukan pemerintah. Untuk meningkatkan produksi beras, usahatani beras harus
menguntungkan, sehingga ada insentif bagi petani untuk berproduksi. Untuk
menjaga harga beras tetap terkendali, produksi nasional harus tetap seimbang
dengan konsumsi nasional. Terjadinya peningkatan impor hanya akan memicu
kenaikan harga beras internasional. Karena itu dalam jangka panjang semakin
besar ketergantungan terhadap impor, kian tidak terjamin pasokan beras secara
murah. Indonesia adalah net importer besar dalam pasar beras dunia.
Intinya, kebijakan impor hanya relevan untuk mengendalikan harga dalam jangka
pendek tetapi amat riskan dalam jangka menengah dan panjang (Iman Sugema ,
2006).
BAB 3
Penutup
KESIMPULAN
1. Kebijakan impor beras
tidak efektif karena menurunkan NTP petani yang berakibat pada merosotnya
kesejahteraan petani.
2. Kebijakan impor hanya
relevan untuk mengendalikan harga dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang
ketergantungan pangan pada pihak luar negeri, memungkinkan dan memudahkan
komoditas pangan dijadikan komoditas dan senjata politik untuk pengaturan
hingga terjadinya dominasi.
3. Ketahanan pangan
nasional secara berkelanjutan dapat dicapai dengan kemandirian pangan, ini
bukan berarti harus swasembada dalam produksi semua pangan melainkan harus
mampu mengurangi bahkan tidak tergantung pada pihak lain.
4. Untuk meningkatkan
produksi beras, usahatani padi/beras harus menguntungkan, sehingga ada insentif
bagi petani untuk berproduksi.
PUSTAKA
-Antik Suprihanti, 2002. Impor Pangan dan Kebijakan Pertanian. Jurnal
Dinamika Sosial Ekonomi. UPN “Veteran” Yogyakarta.
-Badan Urusan Logistik (Bulog), 2003. Perkembangan Harga Beras Medium di
Indonesia Tahun 1995 – 2003.
-Bayu Krisnamurhi, 2006. Penganekaragaman Pangan Sebuah Kebutuhan yang
Mendesak. Makalah Seminar Nasional Diversifikasi untuk Mendukung Ketahan Pangan
18 Februari 2006 Universitas Muhammadyah Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar